Site icon Bimantara News

Maraknya Kasus Korupsi  E-KTP di Indonesia

Bagikan Artikel

Opini – Tindak pidana Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar hampir di seluruh negara. Bila dicermati, begitu banyak pandangan ahli yang mengartikan korupsi. Wignjosubroto dalam Salma (2014) mengemukakan bahwa “Korupsi berasal dari bahasa Latin ‘corruptus’ (merusak habis-habisan). Sehingga, bisa diartikan bahwa korupsi merupakan tindakan yang merusak secara keseluruhan kepercayaan masyarakat kepada pelaku korupsi, yang bahkan juga bisa menghancurkan seluruh sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara” Sementara itu, di sisi lain, korupsi (corrupt, corruptie, corruptio) juga bisa bermakna kebusukan, keburukan, dan kebejatan. Tempo dikutip oleh Salama ( 2014) menyebutkan bahwa “ada dua bentuk/tipe korupsi yang bisa dilihat dari hasil penelitian ini, yaitu korupsi dengan tipe sistemik dan sistematik”

Korupsi bisa dikatakan seperti penyakit yang menjamur. Tidak hanya terjadi di lingkungan pemerintahan, korupsi juga sudah menyebar kemasyarakat. Korupsi seakan sudah menjadi asupan sehari-hari di media cetak maupun televisi, bahkan pelakunya pun tidak merasa malu karena perbuatannya (Alatas,Syed Husein,2002) Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi didefinisikan sebagai tindakan setiap orang yang dengan sengaja dengan melawan hukum untuk melakukan perbuatan dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain suatu korporasi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Saat ini, korupsi yang terjadi di Indonesia telah mengalami perkembangan, baik secara kuantitas maupun kualitas sehingga akibatnya merugikan keuangan Negara dan dapat pula menghambat pembangunan nasional maupun daerah. Saat ini dapat dikatakan bahwa korupsi di Indonesia tidak lagi merupakan sebuah kejahatan biasa (ordinary crimes), namun telah merupakan suatu kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes) (Yanuar, Purwaning M, 2007). Praktek praktek politik di Indonesia seringkali mengesampingkan nilai-nilai moral dalam mencapai tujuan politiknya. Penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan serta korupsi masih marak terjadi. Tindakan menyimpang tersebut berkaitan dengan actus humanus karena hanya tindakan yang dilakukan dengan tahu-mau-bebaslah yang bisa disorot moralnya sehingga siapapun yang melakukannya harus mempertanggung jawabkan konsekuensinya. Jadi, berpolitik harus menggunakan cara yang baik dan berdasarkan prinsip reflektif hati nurani yang benar.

Dalam analisis ini mengambil contoh kasus korupsi e-KTP yang dilakukan oleh Setya Novanto (Tempo, 2018). Kementrian dalam negri (Kemendagri) yang dalam hal ini kepanjangan tangan dari Pemerintah Indonesia menggratiskan pembaharuan Kartu Tanda Penduduk. Kemendagri telah menyiapkan dana sebesar Rp 6Triliun yang digunakan untuk proyek e-KTP dan  program Nomor Induk Kependudukan (NIK) Nasional dan dana senilai Rp 258 Milyar untuk biaya pemutakhiran data kependudukan untuk pembuatan e-KTP berbasis NIK pada 2010 untuk seluruh kabupaten/kota se-Indonesia. Prosedur pembuatan KTP elektronik yakni perekaman data penduduk dengan menunjukkan KTP lama setelah itu tinggal menunggu hingga proses selesai dan e-KTP bisa diambil di dinas pencatatan sipil. Kemendagri bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawasi proyek yang disiapkan Pemerintah  Indonesia. Namun pada kenyataannya tetap saja ada oknum yang tidak bertanggung jawab, yang memanfaatkan kewenangannya untuk kepentingan diri sendiri. Tindakan oknum politisi ini menyebabkan kerugian negara senilai 2,3 Triliun. Terpidananya adalah Setya Novanto, yang pada April 2018 lalu, majelis hakim Pengadilan Tipikor telah menjatuhi vonis pidana penjara selama 15 tahun dan denda 500 juta subsidi kurungan 3 bulan. Tidak hanya itu, Setya Novanto juga diganjar dengan pencabutan hak menduduki jabatan publik selama 5 tahun.

Banyak yang dirugikan dari kasus yang dilakukan oleh oknum politisi ini. Selain negara, masyarakat juga dirugikan karena mereka harus menunggu proses pembuatan e-KTP yang lama. Kasus penyelewengan dana proyek e-KTP ini telah menyita perhatian banyak kalangan di seluruh negeri, berbagai komentar dan kritik pedas diluapkan oleh masyarakat Indonesia terhadap Setya Novanto sebagai akibat dari kekeceweaan yang mereka rasakan.

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Adnan Pandu Praja berpendapat bahwa dugaan korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP bisa saja dicegah jika Badan Pemeriksa Keuangan bersikap tegas. Adnan menyebutkan, sekitar tahun 2011-2012, BPK sebenarnya telah melihat adanya indikasi pelanggaran terkait anggaran proyek e-KTP. Namun, setelah ada transaksi pengadaan e-KTP, selanjutnya dianggap tidak ada masalah. “Kalau BPK sejak awal sudah mewaspadai ini dan kemudian tegas, ya enggak akan jadi korupsi jumbo seperti sekarang. Ini kan multiyears,” ujar Adnan seusai diskusi Perspektif Indonesia bertema “KTP Diurus KPK” di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (11/3/2017). Menurut Adnan, siapa pun yang sejak awal mengetahui adanya dugaan korupsi seharusnya melapor kepada KPK. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara jelas menyebut unsur pidana wajib dilaporkan. Selain itu, BPK juga bisa memanfaatkan konsep whistleblower untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi. Berdasarkan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seorang whistleblower bisa melaporkan indikasi tindak pidana korupsi yang terjadi di dalam organisasi tempat dia bekerja dan memiliki akses informasi yang memadai atas terjadinya indikasi tindak pidana korupsi tersebut. “Jadi itu seharusnya dimanfaatkan. Jangan terjadi kesepakatan diam-diam dan sekarang jadi melindungi,” ucapnya. KPK menduga ada perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara terkait pengadaan proyek e-KTP. Dalam sidang kasus dugaan korupsi e-KTP ini, sejumlah nama tokoh politik di DPR RI disebut menerima aliran dana korupsi.

Penulis : Hayatul Ulfa Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Prodi Manajemen Universitas Baiturrahmah Padang


Bagikan Artikel
Exit mobile version