Digeruduk Aktivis, Fadli Zon Tetap Lanjutkan Proyek Penulisan Ulang Sejarah: “Aspirasi Publik Itu Biasa”

Oplus_0

Jakarta – BimantaraNews.com– Koalisi Masyarakat Sipil bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menggeruduk Menteri Kebudayaan Fadli Zon saat menghadiri rapat bersama Komisi X DPR RI, Rabu (2/7/2025), di Kompleks Parlemen Senayan.

Aksi tersebut merupakan bentuk protes terhadap proyek penulisan ulang sejarah nasional yang digagas oleh Fadli Zon. Massa aksi menyuarakan kekhawatiran bahwa proyek tersebut bisa mengaburkan narasi sejarah kelam Indonesia, terutama soal pelanggaran HAM masa lalu.

Menanggapi hal tersebut, Fadli Zon menyampaikan bahwa dirinya tidak keberatan dengan aksi tersebut dan menganggapnya sebagai bagian dari kebebasan berpendapat dalam negara demokrasi.

“Ya biasa ajalah, saya juga dulu pernah seperti itu. Menurut saya, ini bentuk aspirasi publik yang sah,” ujar Fadli kepada awak media di Gedung DPR RI, Rabu (2/7), seperti dikutip dari Kompas.com.

 

Meski mendapat tekanan, Fadli memastikan proyek tersebut tidak akan dihentikan. Bahkan, pemerintah akan membuka ruang diskusi melalui forum uji publik yang dijadwalkan berlangsung pada Juli 2025.

“Enggak (ditunda). Kita akan melakukan uji publik terhadap apa yang ditulis, ya bulan Juli ini,” tegas Fadli Zon, dikutip dari CNN Indonesia.

 

Kritik Masyarakat Sipil

Koalisi Masyarakat Sipil, yang terdiri dari berbagai elemen aktivis HAM, akademisi, hingga mahasiswa, menyampaikan keprihatinan terhadap proyek penulisan ulang sejarah yang dinilai rawan manipulasi narasi.

Dalam pernyataannya, KontraS menilai proyek tersebut berisiko menyingkirkan perspektif korban dan menggiring publik pada narasi tunggal yang dikendalikan oleh negara.

“Kami menolak penulisan ulang sejarah jika tidak melibatkan partisipasi korban, keluarga korban, dan sejarawan independen. Sejarah bukan milik penguasa,” kata Koordinator KontraS, Dimas Bagus Aryo, dikutip dari Tirto.id (2 Juli 2025).

 

Latar Belakang Kontroversi

Proyek penulisan ulang sejarah ini pertama kali diumumkan Fadli Zon awal tahun 2025 sebagai bagian dari reformulasi narasi sejarah nasional. Ia menyebut banyak data dan fakta sejarah yang selama ini terabaikan atau belum terangkum secara komprehensif dalam buku sejarah resmi.

Namun, banyak pengamat melihat proyek ini sebagai upaya mengarahkan opini publik dan merevisi peristiwa-peristiwa krusial seperti Tragedi 1965, Tragedi Mei 1998, serta pelanggaran HAM berat lainnya.

“Yang menjadi kekhawatiran adalah jika sejarah ditulis ulang tanpa semangat keadilan dan kebenaran. Itu bisa menjadi rekayasa sejarah, bukan koreksi sejarah,” ujar Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia, Prof. Asvi Warman Adam, seperti dilansir Tempo.co.

 

Rencana Uji Publik dan Partisipasi Publik

Fadli Zon menyatakan bahwa uji publik akan dibuka seluas-luasnya kepada masyarakat, akademisi, dan lembaga pemerhati sejarah. Draft awal buku sejarah yang disusun akan dipublikasikan secara digital dan terbuka untuk dikritisi.

Meski demikian, banyak pihak menilai keterbukaan itu belum cukup menjamin independensi jika tidak disertai jaminan bahwa kritik dan masukan akan benar-benar diakomodasi dalam substansi naskah final.

Penutup

Ketegangan antara negara dan masyarakat sipil dalam hal penulisan sejarah bukanlah hal baru. Namun, yang menjadi penentu adalah seberapa jauh negara mampu menampung kritik dan menyusun narasi sejarah yang adil, faktual, dan tidak bias kekuasaan.

Dengan pernyataan tegas Fadli Zon bahwa proyek tetap berjalan, perdebatan dipastikan akan terus bergulir. Uji publik pada Juli mendatang akan menjadi momentum penting untuk menilai sejauh mana integritas dari proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ini.

Referensi Berita:

1. Kompas.com (2 Juli 2025) – “Fadli Zon: Aspirasi Publik Wajar, Penulisan Ulang Sejarah Tetap Jalan”

2. CNN Indonesia (2 Juli 2025) – “Digeruduk Aktivis, Fadli Zon Tegaskan Proyek Sejarah Tidak Ditunda”

3. Tirto.id (2 Juli 2025) – “KontraS Tolak Proyek Sejarah Ulang Tanpa Libatkan Korban”

4. Tempo.co (20 Juni 2025) – “Sejarawan Kritik Revisi Sejarah Pemerintah: Narasi Bisa Jadi Politis”

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses